Kamis, 30 September 2010

Dewi Sinta Sebagai Simbul Kesetiaan


      Dewi Sinta adalah sosok wanita yang sempurna, wanita cantik rupawan ini memiliki prinsip yang kuat, tidak pernah tergoda, sangat sulit dipengaruhi, tidak mempan akan hasutan dan setia terhadap sumpah janjinya, tidak heran jika wanita ini sangat lekat sebagai simbul kesetiaan. Meski amatlah besar cobaan yang menimpa dirinya didalam menjalani status sebagai permaisuri dari seorang raja, Prabu Ramawijaya, tetapi dari sanalah Dewi Sinta menempa diri sehingga menjadi sosok yang sangat kuat bisa dipercaya akan kesetiaanya terhadap suami tercinta.
     Semasa gadisnya Dewi Sinta berselimut oleh kebahagiaan, bergelimang kemewahan yang didapat dari ayah dan ibunya, konon sang Dewi wanita yang sangat di puja-puji, dimanjakan oleh sang ayah & ibu. Ia adalah putri Prabu Janaka, Raja Negeri Mantili, ketika ia menginjak dewasa maka sang ayah hendak menghadirkan seorang ksatria sebagai menantu, tentu bukan sembarang orang yang bisa diterima sebagai suami dari putrinya ini. Dalam rangka mendapatkan menantu yang di inginkan sang Prabu mengumandangkan sebuah sayembara; ‘Barang siapa ksatria di dunia ini yang sanggup menarik gendewa (busur) milik sang Prabu Janaka, maka dialah yang akan diperkenankan untuk mempersunting sang Dewi.


     Tidak lama beselang sayembara tersebut mengumandang di seantero jagat (dunia) terlebih sayembara ini tentu mempunyai daya tarik yang luar biasa karena disamping Dewi Sinta wanita yang sangat endah ing warni (cantik rupawan) ia juga putri dari seorang Raja yang terkenal di dunia, banyak diantara ksatria, putra raja yang akhirnya bisa datang turut serta mengikuti sayembara ini namun demikian hingga berbulan-bulan lamanya tidak satupun yang berhasil
 menarik busur sang raja, artinya belum ada satupun dari peserta sayembara yang memiliki kesaktian melebihi sang Prabu Janaka karena memang Prabu Janaka adalah raja yang sangat tangguh, memiliki kesaktian yang susah ditandingi oleh siapapun.
     Timbulah gejolak serta kekawatiran dalam diri sang Dewi Sinta, ia meragukan akan adanya ksatria atau raja yang senantiasa mampu menjawab tantangan atau sayembara sang ayah, melihat kegundahan perasaan sang putri lantas Prabu Janaka seketika itu bersemedi (memohon) kepada Hyang Widhi (Sang Pencipta) agar diberikan jalan keluar. Hari-hari dimana sudah tidak banyak yang datang mengikuti sayembara ini, hadirlah seorang ksatria tampan dari Negari Ayodya, putra Prabu Dasarata, sesilih (bernama) Raden Ramawijaya. Kehadiran Raden Ramawijaya tidak sendiri, melainkan di ikuti oleh segenap puno kawan (teman sekaligus pelayan), karena sudah tidak banyak yang datang mengikuti sayembara ini, sehingga kedatangan Raden Ramawijaya itu terpantau oleh sang Dewi dari taman keputrian, sepintas pengelihatan Dewi Sinta telah cukup membuat Dewi tertarik akan ketampanan Raden Ramawijaya tetapi akankah Raden Ramawijaya mampu mematahkan sayembara ayahanda ? usik sang Dewi.
     Sampailah saatnya Raden Ramawijaya melakukan niatnya untuk menjalani sayembara itu, dengan penuh keyakinan ia menarik busur yang juga telah banyak dilakukan oleh para raja dan kali ini sayembara itu dapat di patahkan oleh kekuatan Raden Ramawijaya, seketika semua yang ada di sasana keranton terdiam demi melihat keberhasilan sang Ramawijaya memenangi sayembara itu, Prabu Janaka bersyukur bahwa do’anya telah di kabulkan oleh Hyang Widhi dimana telah diberikan ksatria tampan, sakti mandraguna, titisan Hyang Wisnu sebagai pendamping putrinya. Maka resmilah Dewi Sinta di persunting oleh Raden Ramawijaya, terlebih pada akhirnya Prabu Janaka memberikan tahtanya kepada sang menantu.
     Tetapi nampaknya kebahagiaan sang Dewi mulai terusik, cobaan hidup datang dari seorang ibu tiri; Dewi Kekayi. Ramawijaya diusir oleh Dewi Kekayi, lantas ia pun pergi masuk ke hutan, dengan rela Dewi Sinta mengikuti jejak sang suami memasuki hutan rimba, namun demikian lebatnya hutan, liarnya belukar, terjalnya batuan serta beringasnya binatang di tengah hutan tidak lantas membuat Dewi Sinta menderita, ia tetap mengikuti kemanapun jejak sang suami, meski harus masuk ke lubang singa sekalipun, seolah ia tahu bahwa inilah pengorbanan mahal yang harus di bayar seorang isteri demi kesetiaanya kepada suami tercinta.
     Di tengah hutan Dewi Sinta bertemu dengan seekor kijang yang menawan hati sang Dewi, ia terpesona dengan kijang itu sehingga Dewi meminta sang Ramawijaya untuk menangkap hidup-hidup binatang tersebut, ketika Ramawijaya berusaha memburu binatang itu, tiba-tiba Dewi Sinta mendengar suara rintihan, seolah sang suami yang sedang mengalami kecelakaan dan perlu bantuan, tanpa kekawatiran akan dirinya ia tiba-tiba menyuruh Raden Lesmana, adik ipar yang setia mengawal dan menjaganya kemana dan dimanapun Dewi dan sang Ramawijaya berada untuk pergi menolong Raden Ramawijaya. Pada saat Dewi Sinta sendiri di tengah hutan itulah datang seorang lelaki tua menghampirinya, tanpa sepatah katapun lelaki itu langsung memikut Dewi Sinta lalu membawanya lari. Lelaki tua itu tidak lain adalah jelmaan Prabu Rahwana Raja, raja Negari Alengkadiraja yang memang sangat bernafsu mempersunting Dewi Sinta tetapi tidak bisa tercapai, pada saat itu Prabu Rahwana juga telah gagal memenangi sayembara.
     Dewi Sinta dibawa pulang ke Negari Alengkadiraja dan di tawan di taman Argasoka dan di taman itu ditempatkan seorang Trijatha (keponakan Prabu Rahwana) orang yang dipercaya untuk menjaga dan melayani sang Dewi Sinta. Disinilah ujian hidup yang lebih berat dimulai. Dengan kesombongannya Rahwana mengkoyak sang Dewi, berusaha membujuk, merayu, memaksa untuk melampiaskan hawa nafsunya yang disertai ancaman, tetapi alih-alih menerima, melihat tingkahnya saja Dewi Sinta sudah takut dan ia tetap menolak apapun yang menjadi keinginan Rahwana, sebagai senjata atas sikap Rahwana, Dewi lalu mengancam akan membunuh dirinya sendiri dengan sebilah pisau yang tak pernah lepas dari tangannya. Melihat apa yang terjadi, Rahwana bergegas mundur untuk sementara dan akan menunggu di kemudian hari hati Sinta luluh.
     Kondisi seperti itu selalu terjadi pada diri sang Dewi, namun lagi-lagi ia tetap menolak, “Aku hanya bisa mencintai dan leladi (melayani) kepada kakanda Ramawijaya, aku hanya akan menyerahkan jiwa dan ragaku kepada suamiku” demikian tutur sang Dewi Sinta yang tetap teguh memelihara kesetiaanya. Kembali Rahwana tidak berdaya dan mundur sambil berfikir membuat siasat agar suatu hari Dewi Sinta bertekuk lutut kepadanya.
     Derita batin yang dirasakan Dewi Sinta membawa kondisi tubuhnya kurus kiring, wanita cantik itu tampak kurus, pucat, paras cantik dan kulit yang lembut kini layu tinggalah kulit kering yang membalut tulang, rambut rusak bercampur tanah dan tulang iga pun mulai tampak, tetapi itu semua tidak membuat Dewi Sinta merubah pendiriannya.
‘Wahai Sinta’ kata Rahwana suatu hari, ‘Janganlah engkau menyiksa dirimu sendiri, aku kasihan melihat badanmu yang semakin kurus dan aking (kering), sayang jika wajahmu yang cantik itu rusak hanya karena sikap keras kepalamu’ Dewi Sinta pun hanya bisa meratap menangis sambil memohon kepada Sang Pencipta akan datangnya jalan yang bisa meng-akhiri penderitaanya itu. ‘Apa yang lebih dari suamimu si Ramawijaya, apa yang engkau harapkan dari seorang satria miskin yang telah terusir dari istana’. Hasut Rahwana. ‘Sudahlah Sinta, . . Sinta, kalau saja kamu mau aku peristri maka segala yang kau mau pasti akan bisa terpenuhi, ketahuilah Sinta, aku ini adalah raja diraja, raja dari semua raja di dunia ini, semua yang ada di Negeri ini menjadi milikmu Sinta, bahkan jika kau miminta dunia ini utuh beserta isinya akan ku penuhi’.
     Apapun yang ditawarkan Rahwana kepada Dewi Sinta tidak lalu membuat Sinta goyah sedikitpun, Sinta kembali mengancam dengan mengarahkan ujung pisau ke dadanya, hal ini kemudian membuat Rahwana mundur dari posisinya yang telah dekat dan nyaris menggapainya. Dewi Sinta semakin menderita dan ia sangat berharap suatu ketika bisa kembali kepada Ramawijaya bahkan iya yakin hal itu akan terjadi karena ia tahu bahwa Ramawijaya adalah santria yang memiliki kemampuan dan kesaktian, itupula yang membuat Ramawijaya dapat mempersunting Dewi Sinta ketika itu. Tidak pernah merasakan haus dan lapar, tidak pula ingin makan meski disitu tersaji makanan dan minuman, yang ada hanya keinginan segera bisa kembali ke pangkuan sang Ramawijaya.
     Dari Dewi Trijatha ia mendengar bahwa peperangan sedang berkobar antara prajurit Ramawijaya melawan tentara Praja Alenkapura, hingga suatu hari Rahwana kembali datang padanya dengan menenteng dua buah kepala manusia yang berlumuran darah, maka hati sang Dewi remuk redam dan tidak tau lagi kepada siapa harus meminta bantuan. ‘Lihatlah Sinta, Ramawijaya dan Lesmana ternyata bukan satria yang tangguh, bukan hal yang susah untuk memenggal kepala mereka, bahkan bisa dilakukan hanya oleh prajuritku’. Lagi-lagi hasut Rahwana. ‘Sepertinya situasi telah dekat dengan keinginanku, Sinta akan menjadi isteriku’ guman Rahwana sambil terbahak girang. Sinta tidak bisa memandang kedua kepala itu, hatinya membeku bagaikan batu es, namun pisau tetap pada tangannya sebagai bentuk ancaman dengan membunuh dirinya sendiri jika sampai Rahwana mendekat apalagi menjamah tubuhnya, baginya lebih baik mati daripada di jamah apalagi di peristri oleh seorang Rahwana. Melihat penderitaan Dewi Sinta atas perlakuan Rahwana maka hati Trijatha tersentuh dan mulai kasihan melihat Sinta yang tidak berdaya, setelah Rahwana mundur dari hadapan Sinta tiba-biba Trijatha mendekati Sinta seraya memberitahukan bahwa sebenarnya kedua kepala tadi bukanlah kepala Ramawijaya dan Lesmana, mendengar ucapan Trijata tadi Sinta sekitika kembali pulih dan yakin bahwa suaminya tetap hidup dan bahkan pada suatu saat akan datang menjemputnya. Ia terus berdoa agar suaminya diberikan keselamatan. Sedikit terkejut bercampur senang ketika ia melihat kedatangan si Kethek Putih (Kera Putih) Hanoman, sebagai duta sang Ramawijaya yang telah bisa menerobos barisan tentara kerajaan Alengka hingga masuk menumui Dewi Sinta di taman Argasoka.
     Hanoman memang manusia kera namun ia memiliki kesaktian yang luar biasa, sambil menggendong Dewi Sinta ia melompat menerobos kobaran api, kepergok oleh Patih Negari Alengko, Hanoman berperang sengit melawan banyak prajurit Alengka, Negara Alengka di bakar oleh Hanoman, ludes, tumpes jadi abu dan akhirnya peperangan itu dimenangi oleh Hanoman atau kubu Ramawijaya. Kembalilah Dewi Sinta di tangan Ramawijaya. Meski Dewi Sinta sempat bersedih karena Ramawijaya sempat meragukan kesucianya tetapi Dewi Sinta bukanlah wanita sembarang, kali ini ujian datang dari suaminya sendiri, demi kesetiaanya maka ia merasa sangatlah penting untuk mengembalikan kepercayaan sang suami, saat itu sang Dewi sanggup untuk melakukan Pati obong (bakar diri) dengan cara menceburkan dirinya ke dalam patumangan (bubungan api), anehnya Dewi Sinta tidak mempan oleh sengatan api yang membara itu, tak selembarpun rambut dan kulitnya berkurang oleh bara api, hal ini terjadi karena Dewa telah mencatat bahwa Dewi Sinta adalah orang yang suci, tahan akan berbagai godaan, dan memiliki kesetiaan maka Dewa menyelamatkan Sinta dengan mengirimkan keajaiban, yakni melindungi Dewi Sinta dari sengatan api. Berbahagialah ia ketika akhirnya Ramawijaya yakin akan kesucian & kesetiaannya. Dewi Sinta adalah sosok wanita didalam kisah pewayangan yang dilahirkan sebagai sibul kesetiaan.


Irw-   
                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar